Friday, February 29, 2008

Semalam di RS Internasional Bintaro


Kenapa biaya berobat mahal? Karena selain membayar dokter, pasien juga harus menjalani pemeriksaan ini dan itu, mulai dari tes darah sampai urine (kencing), feces (tahi),.dan kalau mungkin, jangan2 pasien disuruh tes kentut juga..! Benaran lho, banyak sekali pemeriksaan tetek-bengek (tetek kok bisa bengek ya?) yang kadang-kadang menimbulkan tanda tanya, perlukah semua itu?
.
Baru-baru ini Ani, saudara yang bertugas di daerah, datang ke ibu kota untuk urusan kerjaan. Tapi sampai di Jakarta, kondisi badan menurun. Dari hasil tes darah, dokter di klinik 24 jam menyimpulkan bahwa ia terkena tipus dan menyuruh Ani beristirahat. Mengetahui kalau pasien itu hobinya kerja keras, nggak bisa diam (seperti jentik2 yang selalu bergerak ke sana ke mari… ) maka dokter menganjurkan agar ia menginap di RS saja.
.
Sebetulnya Ani, yang seumur-umur belum pernah masuk RS, enggan menginap di sana. Apalagi karena ia merasa badannya masih kuat, nggak panas, nggak nyeri, nggak diare, hanya sedikit pusing. Tapi dipikir2, memang kalau tidak tinggal di RS, ia pasti tidak bisa istirahat karena banyak gangguan dari kiri kanan. Akhirnya, karena tak ingin kondisinya memburuk, dengan berat ia mau masuk RS.
.
Tgl. 20 Februari 2008, pukul 22:00 lewat, aku mengantarnya ke RS Internasional Bintaro. Kamar kelas 2 dan 3 penuh, hanya ada 1 tempat di kelas 1 dengan tarif Rp 600 ribu semalam. Yach, apa boleh buat. (Untunglah ditanggung kantor … )
.
Begitu tiba di RS, kita menuju ke UGD. Setelah menunjukkan surat pengantar ke dokter jaga, ditanya apa penyakitnya, apakah panas (jawabnya tidak), apakah buang2 air (jawabnya kalo ga salah nih, buang air 2x tapi nggak diare) dan beberapa pertanyaan ringan lainnya. Lalu Ani langsung disuruh tiduran. Suster datang dan tanpa mengatakan “ba” atau “bu”, ia segera melakukan pemeriksaan rutin seperti mengukur temperatur dan mengukur tekanan darah. Tanpa permisi, ia menusukkan jarum ke tangan kiri, untuk diambil darahnya.
.
Jelas2 Ani tampak kesakitan. Tapi suster berwajah dingin itu nggak peduli. Persis robot yang bekerja bagai mesin. Suster yang namanya entah Kato, Katro atau Sato atau Soto… itu lalu memasang selang infus. (Kenapa sih mesti diinfus … ?? )
Tak lama kemudian dokter jaga bernama Teguh datang, memeriksa dengan stetoskop. Basa-basi sebentar. Mukanya sama masamnya dengan suster itu.
Suster lain yang berwajah ramah muncul menyodorkan kertas, isinya pernyataan tidak keberatan kalau dilakukan tes yang diperlukan. Ada perkiraan biaya sebesar Rp 350.000.
“Ini untuk tes darah,” kata suster.
Akupun menanda-tangani surat itu. Oh ya, sebelumnya aku juga sudah menyelesaikan urusan admin, membayar deposit Rp 3 juta.
.
Petugas dengan kursi roda dengan sigap lalu mengantar Ani ke kamar. Ehh… lha kok bukan ke kamar, malah ke ruang X-ray. Petugas menyuruhnya membuka bajunya dan mengenakan baju dari RS karena akan di foto sinus dan dadanya.
Gila !
Pertama, Ani memakai kaos dan diinfus, gimana caranya kalau mau ganti baju ?
Kedua. Tak ada pemberitahuan apapun sebelumnya tentang foto /X-ray.
Kata petugas, itu adalah perintah dokter internis yang akan merawat Ani. Tapi Ani menolak karena akhir tahun lalu sudah pernah rontgen dan hasilnya bagus. Dan ia bersikeras akan bertemu dokternya terlebih dahulu.
.
Malam itu dokter internis yang bernama Wardoyo datang. Ia meragukan hasil tes Widal dari lab sebelumnya. Jadi harus diperiksa lagi semuanya dengan cara yang lebih canggih, periksa urine, feces, kultur darah (nggak dijelaskan apa itu tes kultur darah yang harganya Rp 200 ribu *.).
.
Kata Ani , dokter itu juga menyuruh ronsen sinus karena ia batuk2, menyuruhnya ke dr. THT dan menyuruhnya tes UBT (Urea Breath Test) dan endoskopi karena perutnya kembung.
‘‘Aku ini ke RS karena tipus dan ingin istirahat. Kok malah disuruh tes ini itu ?’’ kata Ani dengan kesal ketika aku menjenguknya hari Kamis malam.
‘’Dari kecil memang perut kadang suka kembung, itu nggak masalah,’’ katanya dongkol, apalagi setelah tau dari suster bahwa tes UBT ini harganya lebih dari Rp 1 juta. (Untung susternya baik, ramah dan mau memberitahu kalau tes itu muahaal)
Tapi memang akhir2 ini Ani sering batuk dan akhirnya ia bersedia foto sinus dan ke dokter THT pada keesokan harinya. Dokternya baik. Ani memang ada sinus dan amandel, lalu diobati dengan semprotan (bukan Baygon loh). Sebelumnya ada tindakan nggak tau apa namanya, tapi lubang hidung ditutup dengan kapas selama beberapa menit. "Tinggal dibungkus kafan aja nih, jadi pocong," Ani becanda ketika bercerita tentang tindakan yang ongkosnya Rp 500 ribu itu.
.
Ketika dr Wardoyo datang kembali untuk memeriksa keadaannya, ia menanyakan apakah sudah tes UBT, dan kelihatan kesal setelah tau jawabannya.
‘’Waktu aku tanya soal hasil hasil tes darah, urine dan feces, dia cuma senyum2,’ kata Ani.
Kelihatan sekali kalau Ani marah dan kesal. Selain itu ia merasa tidak bisa istirahat dengan nyaman.
“Pagi2 dibangunin suster. Lalu sehari 4x ada mas-mas (bukan mbak-mbak) cleaning servis yang membersihkan kamar,” katanya bersungut2.
Aku bertanya, bagaimana keadaannya. Ani merasa masih kuat dan memilih untuk beristirahat di rumah saja.
Aku menemui suster jaga, menanyakan hasil pemeriksaan lab Ani, tetapi ia menolak..
“ Itu bukan wewenang saya… harus dokternya yang memberi tahu,” kata suster Linda, yang baik dan ramah, tapi bersikukuh tidak mau mengatakan apa2 karena ketakutan.
.
(Pelimpahan wewenang dari dokter ke suster seperti kasus di atas sebetulnya bisa dilakukan. Hal itu akan mengurangi beban dokter dan bermanfaat bagi pasien)
.
Waktu aku mengatakan kalau Ani mau pulang, ia berkata bahwa semua pasien yang pulang harus seijin dokter. Kalau tidak, maka pasien harus menanda-tangani surat pulang paksa. Ia segera menelpon dokter, yang masih ada pasien, dan meminta kami bersabar menunggunya.
Karena kami tak mau menunggu, ia memanggil dr. Yasmin, dokter jaga malam itu.
Suster Linda sudah menyiapkan surat pulang paksa dan dr. Yasmin baru akan menjelaskan hasil lab, ketika tiba-tiba datang suster yang lain dan segera merebut hasil lab karena menurut suster itu, dr. Wardoyo meminta ia mengambilnya.
.
Tak lama kemudian, suster itu datang kembali.
Menurut suster Linda, dr.Wardoyo akan segera datang untuk menemui Ani.
‘’Kalau dokter datang, apakah kita akan dikenakan biaya lagi ?’
‘Ya.’
‘Kalau begitu, nggak usah. Kita pulang sekarang juga.’
Lalu Suster Linda menelpon dr. Wardoyo.
‘Dok, pasien tidak bersedia bertemu, tidak mau di-charged lagi,’ katanya.
Kemudian Suster Linda menyerahkan berkas pemeriksaan hasil lab, dan kita turun untuk menyelesaikan masalah administrasi.
Ani hanya tinggal semalam, tepatnya 24 jam saja, tetapi karena keluar dari RS sekitar pukul 11 p.m., maka dihitung 2 malam. Total biaya = Rp 3.6 juta.
Hasil lab masih merupakan misteri sampai beberapa hari kemudian ketika aku membawanya ke dokter yang menginfusku.
“Hasilnya cukup baik, tak ada yang mengkhawatirkan, hanya perlu istirahat,” katanya.

* Tes kultur darah adalah pemeriksaan lab untuk konfirmasi kecurigaan tipus, Tes ini dilakukan sewaktu ada demam tinggi yang merupakan pertanda bahwa kuman sedang menyebar dalam darah (sehingga lebih mudah dikultur). Kultur tidak bia dilakukan pada hari2 permulaan demam karena cenderung masih negatif. Kita harus menunggu hingga demam sudah tinggi dan konstan. Sayangnya hasil kultur untuk kepastian diagnosanya baru diperoleh setelah 4-6 hari. Namun pengobatan sudah bisa dilakukan atas dasar penilaian klinis, sambil menunggu hasil kultur. Test Widal tidak bisa dipercayai karena terlalu banyak test yang false positif maupun false negative. (dari http://www.iwandarmansjah.web.id/)

Thursday, February 28, 2008

The Long Journey (dari Nasi Rames, Monyet sampai Banjir)

Ini adalah kisah perjalanan berobat yang panjang dan tercecer. Yang tercecer adalah kisahnya yang panjang… panjang, melelahkan dan menegangkan, tapi menyenangkan juga loh… Kisah berobatnya juga panjang, tapi nggak tercecer dan nggak diceritakan di sini……
Hari Jumat tgl. 1 Februari 2008 adalah jadwalku kembali bertemu dengan bu dokter di NUH. Dan kembali Retno berbaik hati menemani. Lagi2 kita akan naik pesawat Air Asia, berangkat pukul 6:40 pagi dan dijadwalkan tiba di Batam jam 8:15. Harta tiket Jkt-Batam PP sekitar Rp 550.000.
.
Dari Batam kita akan naik feri ke Singapura. Lumayan, bisa menghemat ongkos fiskal. Kalau berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, fiskalnya Rp 1 juta, tapi kalau lewat Bandut (Bandar Laut) hanya Rp 500.000. (Seharusnya sih nggak usah pake fiskal2an ya? Dulu ada wacana penghapusan fiskal, tapi nggak tau kelanjutannya gimana).
Sambil menunggu saat boarding, kita mampir di Restaurant Soka. Retno pesan nasi soto dan secangkir teh manis (cangkirnya mini banget, tingginya paling hanya 5 cm). Aku pilih nasi rames yang terdiri dari nasi putih, sayur labu siam, sayur buncis dan sesendok mi goreng, dan teh tawar.
Waktu membayar, gedubrakk....! Rinciannya:
2 Nasi putih = 2x Rp 6 ribu
Sayur labu siam = Rp 7.500
Sayur buncis = Rp 7.500
Mi goreng = Rp 10 ribu
2 Teh = 2x Rp 7.500
Soto = Rp 26.000
Ternyata sayur satu porsi atau satu sendok, dihitung sama. Mie satu piring dan satu sendok, juga sama hitungannya. Sebagai perbandingan, harga nasi kuning komplit dengan lauk, incl. rendang, di Air Asia = Rp 18 ribu.
Rasanya bagaimana? Kata Retno, sotonya lumayan enak. Tapi nasi ramesnya nggak enak babar blas. Sayur dan mie-nya dingin.
Eh.. kok malah ngomongin makanan ya…
Ya wis, singkat cerita. Kita berangkat tepat waktu. Saat itu hujan gerimis, tapi nggak jadi halangan. Dan kita tiba di Batam dengan selamat.
Ternyata…. para pemirsa… nggak lama setelah itu Jakarta banjir dan Bandara Soekarno-Hatta ditutup selama 5 jam, dan 200 penerbangan ditunda/ dibatalkan.
.
Kita memang beruntung hari itu. Tapi sempet kena imbasnya juga ketika kembali dari Batam.
Oh ya, kita menginap semalam di Batam, di tempat Utiek dan Hardi yang menyambut kita dengan ramah. Jadi, hari Jumat itu setelah selesai berkonsultasi dengan dokter di NUH, kita ke pelabuhan Harbor Front untuk kembali menuju Batam. Lewa, kawan lama yg sekarang bermukim di Singapur, ikut mengantar sampai pelabuhan dan sempat traktir kita minum.
Saking asyiknya ngobrol, sampai lupa waktu. Begitu sadar, kita tergopoh-gopoh menuju tempat pemberangkatan. Wahh, ternyata ada antrean panjang di imigrasi. Deg2an, takut ketinggalan kapal. Untung… akhirnya selesai…. dan kitapun terbirit-birit naik kapal. Begitu masuk kapal, lega sekali rasanya. Tapi kita bingung…. kok kapalnya jelek banget. Nggak seperti yang kita naiki waktu berangkat dari Batam. Padahal kapalnya sama2 Batam Fast. Waktu berangkat, kita duduk di cabin yang nyaman, ber AC, ada TV. Kali ini tempatnya terbuka, hanya ada tirai plastik sebagai ganti jendela kaca. Lalu di sekitar kita banyak yang merokok.
Tapi, ya sudahlah… Yang penting kita nggak ketinggalan kapal.
Belakangan, kita baru sadar kalau kita salah masuk ke cabin perokok! Ya ampuunn… nalar kita waktu itu bener2 nggak jalan… gara2 kita udah stress duluan takut kapalnya udah berangkat.
Pokoknya kita selamat… Dan setelah menempuh perjalanan 1 jam 15 menit, akhirnya kita sampai di Batam.
.
Malam itu kita langsung diajak makan malam di hotel berbintang. Dari sana kita bisa melihat kota Batam di malam hari.. . Tempatnya asyik, tapi kok sepi yach? Hanya ada beberapa meja yang terisi. Padahal makanannya enak dan ada juga live music yang menghibur kita dengan lagu-lagu yang merdu.
Eh, Hardi ternyata jago nyanyi. Dia ikut menyumbang lagu dengan gayanya yang nggak kalah dengan Samson atau Niji… Hehhee..
Selain pintar nyanyi, Hardi juga pandai main gitar dan piano. Bakat musik ini menurun ke anaknya, Tika. ABG ini selain suka main piano juga jago ngedrum, sempat masuk final lomba ngedrum di Batam dan sebetnar lagi akan ikut seleksi tingkat nasional. Semoga sukses ya… Keesokan harinya jalan2 ke Pulau Galang, pulau ex-penampungam manusia perahu dari Vietnam. (Aku pernah ngelamar ngajar bahasa Inggris di Galang, tapi giliran diterima, malahan akunya yg nggak siap ninggalin kerjaan di Jakarta).
Tadinya terbayang, ke Pulau Galang mesti naik kapal. Ternyata nggak, ada jalan yang bagus dan mulus, dan jembatan ala Golden Gate di San Francisco. Maka kitapun berpose di sana, seperti dalam foto ini (dari kiri ke kanan: Hardi, Retno, Utiek, Tika)
Ternyata Galang itu indah sekali. Tapi sepi, padahal berpotensi besar untuk menjaring turis (termasuk orang Singapura). Sayang kita nggak bisa berlama2 di sana, nggak sempat ke pantai segala karena waktu terbatas. Tapi senang, mendapat pengalaman menarik, bertemu dengan banyak monyet, dan memberi mereka makan kacang dan pisang yang dilempar dari mobil.

Dalam perjalanan pulang, waktu melewati pos penjagaan, Hardi sempet2nya ngasih kacang yang tersisa ke petugasnya…Nggak dilempar sih… tapi diserahkan baik2…
Dari Galang sebetulnya Retno pingin makan sea food, tapi waktunya nggak keburu. Jadi kita hanya makan soto di RM Ayam Penyet.
.
Sampai di bandara, waktu check in kita bertanya apakah ada delay, dijawab belum ada kabar mengenai penundaan. Tapi ternyata semua penerbangan rata2 tertunda. Seharusnya kita berangkat sekitar jam 6 sore, tapi tertunda sampai jam 8:30 p.m.
Kita sampai di Jakarta pukul berapa yach.. lupa persisnya, tapi sekitar jam 10:15. Keadaan Jakarta waktu itu belum pulih akibat banjir. Jalan tol masih tertutup. Lalu lintas dialihkan lewat belakang. Taxi Blue Bird susah didapat, antriannya panjang… Akhirnya kita sepakat naik bis Damri yang ternyata sengaja disediakan untuk mengangkut penumpang yang terlantar (kalau nggak salah, biasanya jam segitu sudah nggak ada bis).

Bis Damri jurusan Blok M mulai beringsut pelan-pelan.. lalu berhenti.. lalu ke Terminal 2, lalu berhenti, lalu kembali lagi ke Terminal 1.. lalu ngetem lagi… Satu jam habis hanya untuk berputar-putar di sana. Karena ini keadaan darurat, penumpang tidak dikenakan biaya alias gratis. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada himbauan dari sopir agar penumpang memberi memberi sumbangan suka rela.
Sekitar tengah malam, bis benar2 meninggalkan bandara dan tiba di Blok M entah jam berapa, kayaknya sih jam 1 lewat. Bis berhenti di pinggir jalan antara Bulungan dan Blok M Plaza. Hujan. Nggak terlalu deras, tapi lumayan bikin basah. Kita nggak bawa payung. Nggak ada taksi. Nggak ada tempat berlindung.
.
Akhirnya kita berjalan ke KFC yg buka 24 jam, nggak jauh dari sana.
Enak juga kita numpang istirahat sebentar. Sempet makan sepotong ayam dan nasi hangat. Tempatnya ramai, banyak anak nongkrong. Di sudut, ada seorang ibu berpakaian lusuh dan anaknya yang masih kecil. Keduanya tertidur di kursi. Tak ada yang mengusik mereka.
Habis makan, kita keluar. Setelah menunggu sekian lama, ada bajaj lewat. Retno naik bajaj ke rumahnya yang cukup dekat jaraknya. Dalam waktu tak terlalu lama, ada taxi Blue Bird lewat. Jam 3 pagi aku sampai di rumah. Ah….senangnya.. Home sweet home

Wednesday, February 27, 2008

Digigit Ular di Hotel


Pernah digigit ular? Aku pernah lho. Kejadiannya pas Valentine’s Day, tgl 14 Februari 2008 di sebuah hotel berbintang kecil di Jakarta Selatan. Ular beneran! Asli!
Kejadiannya begini. Pagi itu tiba-tiba telepon berbunyi.
“Saya dengar Anda berobat ke Singapur,” kata teman di ujung telepon.
Ia adalah teman lama yang sudah lama nggak ketemu. Ia bercerita kalau ada "orang tua" yang tinggal di luar kota, tetapi sekarang sedang di Jakarta. Orang tua ini bisa mengobati dan kabarnya sering “dipakai” oleh pejabat tinggi negara, termasuk mantan presiden dengan inisial M (tebak sendiri siapa dia).
“Saya sudah bikinin janji dengan dia, nanti malam,” kata teman yang istrinya juga terkena kanker.
“Percayalah, saya tak akan mencelakakan Anda,” katanya, sambil menjelaskan sedikit bahwa Pak Tua itu menggunakan ular dalam prakteknya.
Tentu saja aku percaya, nggak mungkin teman itu berniat mencelakakan aku.
Maka malam itu aku meninggalkan pekerjaan yang sebetulnya belum tuntas untuk menemui Pak Tua di hotel tempat dia menginap. Agak deg-degan juga.
Pak Tua mengaku berusia 88 tahun, tapi memang masih segar bugar. Ia dibantu asistennya yang masih muda. Mula2 ia menaruh batang korek api yang dipatahkan ke telapak tanganku. Batang itu bergoyang2, pertanda kalau sesuatu yg gawat di tubuhku, demikian katanya. Lalu ia menyuruh aku minum air putih yang sudah didoain. (Pak Tua ini orang Katolik).
Lalu ia mendemonstrasikan keahliannya. Diletakkan tangannya di dada temanku dan menyuruhnya batuk. Lalu ia membuka tangannya dan tampak ada lendir encer di telapak tangan, yang berarti tidak ada yang serius.
Kemudian giliranku. Telapak tangan diletakkan dada kanan (dekat tempat bekas operasi) dan aku disuruh batuk. Hanya ada cairan lendir tipis. Lalu ketika tangan diletakkan di dada sebelah kiri, dan aku batuk, terdapat noda merah kehitaman di telapak tangannya. Ritual itu diulang dengan meletakkan tangannya di punggung, dan bagian lain yang dicurigai mengandung penyakit. Hasilnya menunjukkan kalau keadaanku cukup baik, menurut Pak Tua.
Setelah itu, ia menawarkan untuk mengobati dengan ular berbisa. Teorinya, bisa ular dapat melawan virus penyakit. Sebelumnya aku akan diberi penawar bisa untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan.
Buat aku sih ya.. nothing to lose. Kalau memang bisa, yach syukur… kenapa nggak dicoba? Paling enggak, itu pengalaman luar biasa .!
Asistennya membaca doa dan memasukkan “penangkal bisa” melalui telapak tanganku dan menyuruhku menggenggamnya selama 5 menit. Maka aku pun mengepalkan telapak tangan sementara asistennya mengeluarkan karung putih berisi 2 ekor ular.
Satu ular diambil dan diinjak ekornya, membuatnya beringas dan menggigit tangan kiriku. Nggak sakit tuh, lebih sakit rasanya kalau digigit kucing.
Ular jenis “koros” itu segera dimasukkan kembali ke karung dan atas dorongan Pak Tua, aku menyentuhnya. Tak terjadi apa2, ular diam saja. Mungkin ularnya sudah mengantuk meskipun waktu itu baru sekitar pukul 21.00.
Setelah pengobatan dengan ular selesai, Pak Tua menunjukkan kepiawaiannya memainkan kartu, seperti Deddy Corbuzier. Dia bilang kartuku Jack kotak merah alias wajik (diamond). Lalu aku disuruh mengocok kartu itu berkali-kali, waktu kartu dihitung dan dibuka, ternyata betul hasilnya Jack merah wajik. Artinya “kerja keras”. Yang lebih baik adalah Queen, King dan terutama As.
“Kerja keras tapi hasilnya pas-pasan ya, pak?” aku bertanya. Ia tidak menanggapi.
“Gimana pak supaya dinaikkan menjadi Queen atau King atau As?” ia juga tidak menjawab.
Padahal aku serius, lho, aku akan senang sekali kalo kartuku naik, supaya aku bisa ongkang2 kaki sambil ngeblog setiap saat.
Belakangan, aku cek Internet, ular koros itu adalah ular yang berbisa lemah, sahabat petani, digunakan untuk membasmi tikus di sawah.
Manfaatnya untuk mengobati kanker atau penyakit lain masih perlu dikaji. Tapi yang jelas sudah terbukti adalah bahwa aku punya teman yang peduli. Ia dan teman-teman lain, termasuk Anda, pemirsa.... (emangnya TV...!)
Thank you my friends..… for your supports…

Friday, February 15, 2008

CT Scan Dubur a.k.a. Peran Dubur Dalam CT Scan

Ah, yang bener aja…. Mana ada CT Scan dubur ?
.
Ga tau ya, aku juga belum pernah dengar. Agak mengada-ada memang judulnya. Tapi bener loh, dubur punya peran penting dalam CT Scan. Kok bisa? Ya bisa. Tanpa dubur, CT Scan tak bisa berjalan, paling tidak, di RS Pluit (yang ternyata satu group dengan RS Gading Pluit).
.
Hari Sabtu, tgl. 9 Februari 2008, aku menuju ke bagian radiologi dan disambut oleh petugas berseragam merah yang cakep dan ramah. Tak seperti petugas RS Husada yang melayaniku dengan judes sehingga mukanya yang jelek kelihatan tambah jelek. Ketika itu sekitar bulan September atau Oktober 2007, aku periksa EMG gara-gara tangan kanan kesemutan dan terasa lemah. Bu Dokter kuatir kalau hal itu ada hubungannya dengan kanker. Untunglah, setelah di EMG dan MRI 2x, ternyata syaraf tulang belakang dan leher masih bebas dari serangan kanker. .
Anyway…busway... Sebelum menjalani CT Scan 64-slice ini, aku harus bayar lunas dulu ongkosnya. Sebelum EMG dan MRI di RS Husada, aku juga harus bayar dulu. Apalagi di Dharmais, jangan harap bisa konsultasi dengan dokter apalagi mendapat layanan CT Scan, bone scan dll kalau belum membayar lunas.
.
Sudah maklumlah... Jadi ya bayar saja. Yang bikin senang, ternyata biaya bisa ditekan (walaupun sebetulnya biaya itu tetap saja tinggi!) karena aku menjalani CT Scan dengan kontras sekaligus untuk thorax dan abdomen. Jadi, "hanya" membayar Rp 4 juta lebih (pada waktu aku telepon menanyakan harga, petugas mengatakan ongkosnya >Rp 5 juta). Plus Rp 40 ribu untuk pemeriksaan darah.
.
Rupanya obat kontras itu yang mahal (> Rp 1 juta). Kontras ini diperlukan agar jaringan-jaringan bagian tubuh tampak lebih jelas saat di scan.
.
Tahun lalu aku sudah pernah CT Scan 2x, di RS Dharmais dan di Radlink. Prosedurnya kurang lebih sama. Mereka memberi aku sebotol obat kontras yang harus dihabiskan selama beberapa kali minum dalam waktu sekitar 1 jam – 2 jam. Selain itu, sebelum CT scan, obat juga disuntikkan melalui urat nadi.
.
Di RS Pluit, setelah aku minum obat kontras 2 cangkir dengan selang waktu beberapa saat (lupa, mungkin 15 atau 30 menit), aku disuntik. Karena urat nadiku halus, suster tak berhasil memasukkan obat sehingga jarum yg sudah masuk harus dicabut kembali. Lumayan sakit. Suster yang lain dipanggil dan setelah berusaha keras, akhirnya obat berhasil dimasukkan melalui urat nadi.
.
Beberapa waktu kemudian, suster berkata kalau aku harus bersiap-siap menerima masukan obat lagi, kali ini melalui dubur.
.
Hah? Aku kaget setengah mati. Di Dharmais dan di Radlink tak ada prosedur prosedur seperti itu. Tapi, apa mau dikata… Ya sudahlah, pasrah saja. Obatpun dimasukkan melalui selang. Hal ini dilakukan supaya obat cepat bereaksi.
.
“Kalau ingin buang air atau mules ditahan ya,” kata suster.
.
Beneran loh, tak lama setelah obat masuk, perut agak mules. Selain itu obat juga terasa hangat.
Setelah itu, proses scan segera dimulai. Tak lama, mungkin hanya 10 menit. Tubuh dimasukkan ke dalam mesin, kemudian di scan berulang-ulang. Saat di scan kita harus menahan nafas beberapa detik.
.
“Kok cepet?” komentar Upiet yang menemaniku ke RS.
.
Ia mengantar dan sekaligus menjalani pemeriksaan mamografi. Biayanya (kalau ga salah ingat) Rp 275 ribu. Agak sakit karena dalam pemeriksaan itu salah satu payudaranya sedikit tergencet mesin.
.
Sakit sedikit saat pemeriksaan mamografi untuk deteksi dini kanker payudara tak ada artinya dibandingkan dengan manfaatnya.
.
“Aku nggak nyesel kok karena pemeriksaan ini memang penting,” katanya. Dan ia pun tersenyum. Lega karena hasilnya negatif.
.
Sementara hasil CT Scan aku baru bisa diambil sore hari jam 5. Waktu itu masih sekitar jam 11:30, sedangkan kami tiba di sana jam 9 kurang.
.
Hari Senin aku baru mengambil hasilnya. Good news and bad news. Bagusnya, tak ada penyebaran ke hati dan paru-paru. Jeleknya, ada pembengkakan kelenjar getah bening, kista dan myom.Belum dapat dipastikan apakah itu semua sangat berbahaya atau sedikit berbahaya, atau tak terlalu berbahaya.
.
Aku sempat ngobrol dengan Dr. Hadi Gunawan ahli radiologi yang ramah. Ia tak tampak khawatir dengan kista dan myom, tapi perlu perhatian khusus pada pembengkakan kelenjar getah bening.
.
Selain itu, juga terdeteksi beberapa bagian pada tulang yang terkena kanker, seperti pada hasil pemeriksaan sebelumnya. Untuk jelasnya, perlu dilakukan bone scan, yang akan kujalani hari Sabtu besok di RS Dharmais.

Thursday, February 7, 2008

A Cure for Cancer A Distant Dream


Kalau sakit kepala, aku minum Pa**dol (sengaja disamarkan biar ga disangka promosi) dan biasanya langsung sembuh. Kalau diare, aku minum No*it dan segera berhenti buang air. Begitu pula kalau batuk, pilek atau sariawan. Sudah jelas obatnya dan biasanya sembuh walaupun perlu waktu beberapa hari.
.
Tapi kalau kena kanker bagaimana? Aku sudah minum obat bertahun-tahun tapi tak juga sembuh. Hasil tes darah terakhir (Jumat, 1 Februari 2008) menunjukkan bahwa sel-sel kanker itu masih belum terkendali.
.
Banyak obat yang katanya bisa menyembuhkan kanker. Untuk stadium awal kemungkinan untuk “sembuh” mencapai 70 persen. Sembuh dalam tanda kutip karena konon kabarnya sel-sel kanker itu sebetulnya masih ada, tapi tak terdeteksi, dan masih bisa muncul lagi.
.
Secara ilmiah memang belum ada obat yang mampu memberantas penyakit ini hingga keakar-akarnya, terutama setelah tumor mencapai ukuran lebih dari 2 cm atau sudah menjalar ke kelenjar getah bening. Obat yang ada hanya bisa mencegah agar sel-sel kanker yang masih bercokol dalam tubuh tidak berkembang.
.
Kenapa kanker susah diobati?
.
Jawabannya gampang. Karena penyebab kanker sendiri sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.
.
Tapi yang jelas, ada beberapa pemicu penyakit ini, termasuk:
1. Faktor keturunan.
2. Faktor genetika dan hormonal.
3. Gaya hidup tak sehat.
.
Untuk nomor 1 dan nomor 2 memang tak bisa dihindari. Dalam riwayat keluarga ada nenek meninggal kaerna kanker payudara yang kemudian menyerang tulang. Ibu kena kanker leher rahim dan dioperasi tahun 1995 tetapi sampai sekarang masih sehat meskipun usianya tahun ini genap 80 tahun. Resepnya: kurangi makan daging, perbanyak makan sayur, buah dan nasi dari beras merah yang diolah sendiri (jangan beli di warung) dan air putih, serta banyak gerak (senam).
.
Mengenai gaya hidup tak sehat, ini tentu bisa diatasi, meskipun mula-mula pasti terasa berat. Banyak banget yang harus dihindari, termasuk alkohol, rokok, makanan yang mengandung bahan pengawet dan bahan-bahan kimia serta makanan yang digoreng dengan minyak yang dipakai lebih dari 3 kali. Sedapat mungkin jauhi juga MSG atawa bumbu penyedap.
.
Makan Indomi memang enak, praktis dan murah. Apalagi goreng-gorengan seperti tahu, tempe dan bakwan yang banyak dijual di pinggir jalan … yummy….!
Tapi awas. Jangan keseringan … Bisa bahaya loh…
.
Kembali ke soal obat, sekarang ini masih terus dilakukan berbagai riset untuk mendapatkan obat yang manjur. Obat-obat yang ada juga masih termasuk relatif baru kaerna penyakit kanker sendiri juga termasuk penyakit baru. Eh, salah. Sebetulnya bukan penyakit baru. Tumor itu sudah dikenal dari jaman dinosaurus. Tapi penelitian yang gencar baru dimulai tahun 1950-an setelah para orang pintar minum Tolak Angin.. eh salah lagi…Mereka mulai melihat penyebab kanker dari sudut pandang molekuler setelah Francis Crick dan James Watson berhasil mengurai struktur DNA. Aku sendiri waktu itu belum lahir, jadi jangan tanya siapa itu Francis dan James, coba saja lihat di info.cancerresearchuk.org.
.
Karena tergolong baru, maka obat-obat kanker itu muahal. Jenisnya ada beberapa dan obat yang cocok buat si A belum tentu cocok buat si B.
.
Lalu, bagaimana kita bisa tahu obat mana yang paling cocok buat kita?
.
Ternyata semua itu masih berdasarkan coba-coba alias trial and error. Hal itu diakui oleh bu dokter dari NUH ketika aku bertanya-tanya tentang tumor marker aku yang terus meningkat walaupun aku rajin minum obat. Peningkatan itu bisa merupakan indikasi bahwa terjadi penyebaran baru ke tempat lain. Tapi ini belum pasti. Untuk memastikannya, aku harus menjalani CT scan dan bone scan.
.
Akhir pekan ini aku akan ke RS Pluit untuk CT scan dan minggu depan ke RS Dharmais untuk bone scan. Kalau hasilnya jelek, kemungkinan obat harus diganti. Mudah-mudahan hasilnya bagus ya…

Bone Scan + CT Scan


Dalam waktu tidak terlalu lama, aku akan menjalani pemeriksaan bone scan dan CT scan.

Susah lho cari rumah sakit yang punya fasilitas bone scan karena ini ada hubungannya dengan nuklir (nuclear medicine bone scan). Rumah sakit di Jakarta yang bisa melakukan bon scan antara lain RS Dharmais, RSP Pertamina, RSCM dan RSPAD Gatsu.
.
Oh ya, yang dimaksud dengan bone scan adalah pemeriksaan untuk melihat apakah ada sel-sel kanker yang menyebar ke tulang.

Aku sudah pernah menjalani bone scan dua kali. Yang pertama di RS Dharmais, yang kedua di RSPAD Gatot Subroto.
.
Sebelum pemeriksaan, aku disuntik dengan radioaktif dan setelah itu oleh petugas RS Dharmais, aku disuruh minum air banyak-banyak. Dua jam kemudian baru di-scan.
.
Begitu masuk ke dalam tubuh, obat akan memancarkan radiasi yang disebut gelombang gamma, yang akan terdeteksi oleh kamera.
Lucunya, waktu di RSPAD Gatsu, petugas tidak menyuruh aku minum air banyak-banyak, tetapi menyuruh aku sering-sering buang air. Kalau dipikir-pikir, sama juga ya, bagaimana kita bisa buang air kalau tidak banyak minum?
.
Bone scan di RS Dharmais harganya Rp 822.000 kalau ada surat pengantar dari dokter di RS Dharmais, kalau tidak, harganya Rp 950.000.
Kalau di RSPAD biayanya hanya Rp 610.000. Karena itu, waktu pemeriksaan yang kedua, aku ke RSPAD. Ternyata hasilnya beda loh. Maksudnya, ukurannya itu… Di RSPAD hasil foto ukurannya hanya sebesar kertas folio. Kalau di Dharmais 2x lipat-nya. Fasilitas di RSPAD kurang bagus dan suasananya kurang menyenangkan. Tapi dokternya ramah dan sangat baik, kalau tak salah, namanya Dr. Eko. Biar ukurannya kecil, hasilnya sebetulnya cukup akurat. Tapi aku lebih suka yang besar… biar lebih jelas.
.
Mengenai CT scan atau yang kadang juga disebut CAT scan sama sekali tak ada hubungannya
dengan KUCING. Itu adalah singkatan dari Computerized (Axial) Tomography. Maksudnya adalah pemeriksaan/ scan dengan menggunakan komputer seperti X-ray untuk melihat apakah ada sel-sel kanker di bagian tubuh tertentu seperti paru-paru atau ginjal.
.
Tahun lalu aku pernah CT scan dua kali, yang pertama di Radlink, Singapura, dan yang kedua di RS Dharmais. Di RS Dharmais hanya sekitar Rp 3,4 juta, sedangkan di Radlink Sin$650 atau sekitar Rp 4 juta (waktu itu dolar masih belum mencapai Rp 6.000, minggu lalu sudah Rp 6.600)..
Tadi aku telepon Radlink dan mendapat informasi bahwa harganya adalah S$751 karena ada tambahan $100 untuk injeksi. Dulu aku mendapat diskon karena Radlink mempunyai kerja sama dengan dokter di Mt.E yang ketika itu menangani aku.
.
Sekarang aku berobat ke National University Hospital, yang merupakan RS pemerintah. Ongkos konsultasi lebih murah dan dokternya sabar dan baik sekali (kalau ditanya, dia akan menjelaskan panjang lebar, kalau perlu dengan corat-coret di kertas atau dengan menunjukkan gambar melalui layar komputer). Tapi herannya CT scan di sana mahal sekali, $1.000.
Banyak RS di Jakarta yang bisa melakukan CT scan tapi tidak semuanya menggunakan peralatan yang canggih. RS Dharmais dan RS Husada, misalnya, menggunakan sistem 16-slice, jadi hasilnya kurang terinci. Yang punya alat canggih 64-slice antara lain adalah RS Gading Pluit, RS Pluit dan RS Abdi Waluyo (pasti ada RS lain, tapi aku ga tau) sedangkan RS Siloam Gleneagles Karawaci menggunakan sistem dual sources yang kabarnya lebih canggih lagi.
.
Biaya CT scan di RS Gading Pluit dan di RS Pluit sama persis. Untuk thorax dan abdomen dengan kontras ongkosnya Rp 5.685.000. RS Abdi Waluyo gila, biayanya jauh lebih mahal, Rp 6.500.000 ribu-an, dan bahkan masih lebih mahal dari RS Siloam yang memasang tarif Rp 6.150.000.
Bu dokter yang setiap bulan menginfus aku dengan Zometa untuk menguatkan tulang mengatakan bahwa sebetulnya aku bisa menghemat kalau ke RS Abdi Waluyo, mendapatkan diskon 20 persen, tetapi baru bisa diambil belakangan.
.
“Mereka memberi diskon 20 persen untuk dokter yang mengirim pasien ke sana,” katanya berterus terang.
.
Jadi, bu dokter akan memberi aku surat pengantar untuk periksa di sana, lalu nanti kalau bu dokter mendapat 20 persen dari RS Abdi Waluyo, dia akan memberikan uang itu kepadaku. Baik ya bu dokter itu. Tapi takut ribet, jadi aku putuskan periksa di RS Pluit saja.
.
Aku ingat cerita Amorita, teman yang tak kalah baiknya dengan bu dokter, tadi sore. Waktu mengantar ibu berobat ke RS Dharmais, dokter berkata kalau alat CT scan sedang rusak dan menyuruhnya menjalani pemeriksaan di RS Abdi Waluyo.
Kita kan harus berpikir positif ya, tidak boleh menuduh dokter itu mengada-ada dengan mengatakan alat rusak agar dia bisa dapat komisi. Semoga saja alat itu memang betul sedang rusak. Eh, ini juga nggak positif, masa mengharapkan agar alatnya rusak.. ??? Gimana sihhh…Wis mbuh ra ruh… ..
.
Caption: CT scanner dan bone scanner (mirip ya)