Thursday, October 1, 2009

New hospital law should not be paper tiger

Horeee….. Ada kabar gembira. Kita sekarang memiliki undang-undang mengenai rumah sakit yang berpihak pada pasien.
UU ini mewajibkan tenaga kesehatan memberikan informasi mengenai jenis tindakan pelayanan kesehatan yang diberikan beserta efek dan besaran biayanya. Pengaturan pola tarif akan dilakukan dengan memerhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan mutu pelayanan rumah sakit.
Setelah mengendap selama tiga tahun di DPR, perangkat hukum ini akhirnya disahkan pada hari Senin (28 Sep. 2009), beberapa bulan setelah mencuatnya kasus Prita Mulyasari yang menghebohkan. Prita dijebloskan ke tahanan menyusul pengaduan RS Omni Internasional yang geram gara-gara beredarnya email Prita di dunia maya perihal layanan buruk yang ia alami ketika menjadi pasien di RS tsb.
Layanan medis yang buruk bukanlah hal yang luar biasa. Sering kita mendengar keluhan pasien tentang berbagai masalah, mulai dari komersialisasi layanan medis dan kurangnya komunikasi antara pasien dan dokter sampai salah diagnosa dan bahkan malpraktik.
Akibatnya, banyak pasien yang terpaksa berobat ke luar negeri, terutama Singapura, Malaysia dan Cina.
Aku sendiri mempunyai pengalaman buruk dengan tenaga medis di Jakarta. Pernah menjadi korban penipuan suster ketika akan menjalani kemoterapi. Pernah juga kesal karena sikap dokter yang kasar.
Tapi yang membuatku sampai memutuskan untuk berobat ke Singapura adalah ketika dokter menyuruhku memakai “brace” yang sangat menyakitkan setelah diketahui bahwa kanker mulai menggerogoti tulangku. Brace berkerangka besi harus dipakai selama tiga bulan untuk menopang punggung dan tak boleh dilepas kecuali kalau mandi atau tidur.
Aduuuuhhhh… sakitnya minta ampun. Baru 3 jam saja sudah sakit, apalagi 3 bulan. Ampun deh, ampun. Nyerah…
Ceritanya belum selesai nih. Pengalaman buruk kembali aku alami akhir bulan Agustus kemarin. Karena tumor marker yang tinggi, dokter menyuruhku CT scan. Kali ini aku memilih untuk CT scan di RS PIK yang kabarnya memiliki alat yang sangat canggih.
Hasil CT scan mengejutkan. Dokter spesialis radiologi mengatakan bahwa ada penebalan di dinding paru-paru dan menduga bahwa itu adalah metastasis awal. Kesimpulan itu diambil karena ada bintik-bintik di sekitar paru-paru.
Malam itu juga aku mengirim email untuk bu dokter di Singapura, yang kemudian meminta aku datang dengan membawa hasil CT scan tsb dan juga hasil CT scan sebelumnya untuk dibandingkan.
Ketika aku menemuinya, bu dokter menyampaikan kabar yang melegakan.
“Tak ada penyebaran di paru-paru,” katanya.
Ia lalu membentangkan hasil CT scan yang baru dan yang sebelumnya dan memperlihatkan bahwa bintik-bintik itu juga ada dalam hasil CT scan yang lama, yang aku jalani pada bulan Maret tahun ini di RS Pluit. Dibandingkan dengan yang lama, justru bintik-bintik itu sekarang tampak lebih terang, yang berarti “lebih baik”.
Dokter radiologi di RS PIK sama sekali tidak membandingkannya dengan hasil CT scan yang lama, padahal hasil CT scan yang lama aku sertakan ketika menjalani CT scan di sana pada akhir bulan Agustus.
Soal alat, tak diragukan. Memang canggih.Tapi sayang hal itu tak diimbangi dengan kemampuan untuk membaca hasilnya dengan baik. Bahkan yang terjadi adalah kecerobohan. Seandainya dokter specialis radiologi itu mau membandingkannya dengan hasil yang sebelumnya, paling tidak tentu ia tak akan secepat itu mengambil kesimpulan yang sempat membuatku kalang kabut.
“Kamu bisa menuntut rumah sakit itu,” komentar seorang teman.
Bagus juga ya, idenya, menuntut dan minta ganti rugi milyaran rupiah. Kalau dikabulkan, uangnya bisa untuk biaya pengobatan. RS juga akan lebih berhati-hati.
Tapi proses hukum sangat melelahkan. Selain itu, biarpun kita berada pada pihak yang benar, belum tentu kita menang. Yach.. tau sendirilah betapa bobroknya penegak hukum negeri ini.
“Jangan sampai ditahan seperti Prita,” kata teman yang lain.
Kita sudah memiliki UU mengenai rumah sakit. Menurut UU itu, pasien bebas berkeluh kesah ke media masa jika merasa kurang nyaman dengan layanan RS. Pihak RS juga dituntut untuk selalu memperhatikan kualitas layanan dan profesionalisme karena akan ada kewajiban audit medis dan kinerja secara berkala.
Di atas kertas, undang-undang itu bagus. Tapi tak ada gunanya jika tidak ditegakkan.
Kalau dilaksanakan dengan konsisten, alangkah indahnya. Pasien akan merasa lebih tenang dan terhindar dari berbagai persoalan terkait dengan komersialisasi layanan medis, layanan yang buruk, kurangnya profesionalisme dll. Jika mereka merasa nyaman, tentu mereka juga tak akan jauh-jauh berobat ke Singapura. Dengan demikian, rumah sakit lokal juga akan diuntungkan.

4 comments:

Pucca said...

horeee.. semoga peraturan ini ditegakkan ya.. jadi kita gak takut2 lagi nulis apa2 di blog :D
S

Anonymous said...

undang2 boleh ada, semua disini yg menang namanya 'duit', penegak hukum membela yg bayar.....jadi kita mesti tetap hati2 agar tidak kejebak bunyi manis undang2......
semoga Tuhan memberikan kembali kepada para penegak hukum kita 'hati yg bersih dan peduli'

Unknown said...

Walau gak ada undang-undang, kalau semua pihak menggunakan hati nurani pasti kebenaran dan keadilan hakiki akan terwujud. Barangkali tidak perlu ke pengadilan untuk mencari siapa yang benar dan salah...karena semua pihak mau bersama-sama berjalan menuju solusi lebih baik.

sima said...

@pucca - iya, moga2 semuanya bisa berjalan dengan baik dan kasus Prita ga terulang...

@ano - betul, memang kenyataannya begitu. penegakan hukum kita masih terseok2. reformasi hukum belum juga ok.semoga Tuhan mendengar doa kita. amin..

@ mbak Yuniko - setuju, yang paling penting adalah hati nurani. UU itu hanya alat. maunya sih semuanya baik ya...