Thursday, August 27, 2009

'Banyak-banyak minum air, tapi jangan ke toilet'

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Aturan rumah sakit mengenai prosedur CT scan berbeda-beda. Sebelum memutuskan ke mana aku akan CT scan kali ini, aku menelepon dulu beberapa rumah sakit untuk menanyakan prosedur dan biayanya.
Sebelumnya aku sudah pernah melakukannya di Radlink, RS Dharmais dan RS Pluit (2x). Kemarin aku menelepon RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Eka Hospital di Serpong, RSIB di Bintaro, RS PIK di Pantai Indah Kapuk dan RS Pusat Pertamina.
Petugas bagian radiology di RS MKKG dan Eka ramah. Di RSIB dan RSPP kurang ramah, sedangkan di RS PIK aku menelepon 3x, pertama kali ramah, kedua kali tidak ramah dan ketiga kali lumayan.
RSIB segera aku coret meskipun lokasinya sangat dekat dengan tempat tinggalku karena alatnya hanya merekam anatomi dalam 16 irisan (slice) sedangkan yang dianjurkan dokter adalah 64 slice.
Secara umum, aku mendapat informasi bahwa sebelum melakukan CT scan, pasien harus puasa dahulu. Obat kemudian akan disuntikkan melalui urat nadi dan diminum serta dimasukkan melalui dubur.
Tetapi RSPP berbeda.
“Makan yang lembek-lembek. Malam hari jam 8, minum Dulcolax 4 tablet. Subuh masukkan Dulcolax (yang berbentuk seperti peluru) ke dalam anus. Setelah itu puasa dan jam 8 datang untuk CT scan,” kata bapak petugas di bagian radiologi.
“Datang saja kemari untuk mengambil petunjuk tertulis mengenai persiapan CT scan sekalian mengambil Dulcolax. Maaf, saya ini sedang sibuk,” kata si Bapak yang rupanya juga harus melayani banyak orang.
Waktu aku telepon RS PIK untuk pertama kali, petugasnya cukup ramah. RS PIK menggunakan mesin yang katanya paling modern dengan 128 slice. Harganya juga lebih murah dibandingkan dengan yang lain. Jadi aku putuskan untuk melakukannya di RS PIK. Ketika aku menelpon kembali untuk mendaftar dan bertanya sekali lagi soal harga, si Mbak kelihatannya kurang paham dan menyuruhku mengirimkan surat pengantar lewat faksimili untuk disampaikan ke dokter.
Huh, apa2an. Gayanya si Mbak itu sok berkuasa, nyuruh2 orang seenaknya, Menyebalkan. Percuma ngomong sama dia. Keesokan harinya aku telepon lagi dan beruntung dapat berbicara dengan orang yang memang mengerti.
Hari ini, Kamis, 27 Agustus 2009, aku mendapat giliran CT scan jam 13:00.
Aku perlu CT scan pada bagian thoraks (dada), abdomen (perut) dan pelvis (panggul). Untuk itu, syaratnya adalah fungsi ginjal harus bagus. Pemeriksaan untuk fungsi ginjal ini dapat dilakukan di setiap laboratorium.Tapi aku memilih melakukannya sekalian di RS PIK.
Oh ya, dokter juga menyuruhku menjalani pemeriksaan X-ray untuk bilateral humeri (tulang lengan atas kiri dan kanan) serta femur (tulang paha).
Si Mbak PIK menyuruhku datang jam 12 siang untuk diambil darahnya terlebih dahulu agar fungsi ginjal dapat diketahui. Hasil dapat diambil1 jam kemudian. Pemeriksaan X-ray akan dilakukan sambil menunggu hasil tes darah.
Daripada terlambat, aku datang lebih pagi. Lebih cepat lebih baik karena setelah CT scan aku harus bekerja.
Aku datang sebelum jam 11 siang. Tes darah dilakukan jam 11:15. Kemudian aku menjalani X-ray. Jam 12 siang lewat hasil tes darah sudah keluar dan fungsi ginjalku bagus. Tinggal menunggu CT scan saja. Aku menunggu hampir 1 jam. Ternyata perhitungan di Mbak itu betul, kalau tidak mau lama menunggu, aku datang saja jam 12:00.
Harus diakui, soal waktu, RS PIK bagus. Melesetnya tidak banyak. Aku masuk ke ruangan CT scan jam 13 lewat sedikit. Dan tepat 1 jam kemudian sudah selesai. Menurutku, ini sangat efisien, dan sangat cepat dibandingkan dengan pengalamanku selama ini.
Tetapi ada hal yang sangat aneh menurutku. Setelah aku diambil darahnya, si Mbak menyuruhku minum air sebanyak-banyaknya tetapi tidak boleh ke toilet.
“Supaya kandung kemihnya penuh,” katanya.
Kalo penuh emang kenapa?
“Supaya hasilnya bagus,” katanya lagi.
Wah, mana bisa nahan2 kencing? Aku hanya minum air 1 botol Aqua sedang. Jam 12:45, aku tanya Mbak yang lain apakah boleh ke toilet.
“Kalau terpaksa, boleh, tetapi jangan dihabiskan dan setelah itu minum lagi,” katanya.
Karena masih bisa menahannya, aku tidak ke toilet.
Begitu memasuki ruangan untuk CT scan, suster menyuruhku berbaring di meja besi di depan mesin CT scan lalu menusukkan jarum ke lenganku. Tusukan pertama gagal. Untung yang kedua berhasil. Tetapi obat tidak langsung dimasukkan. Justru yang pertama kali dimasukkan adalah obat melalui dubur. Aku rasa itu obat pencahar seperti Dulcolax karena begitu obat dimasukkan, perut terasa mulas.
“Tahan, jangan kentut, jangan mengejan,” kata suster.
Setelah itu barulah proses CT scan berjalan. Kemudian aku disuruh minum obat satu gelas dan masuk ke mesin lagi. Selanjutnya obat dimasukkan melalui jarum yang menancap di urat nadi lenganku sebelum tubuhku dimasukkan lagi ke dalam mesin.
Akhirnya, sekitar jam 14:00 selesai sudah semuanya.
Sebelum pulang, aku mampir ke kafetaria membeli nasi soto ayam. Kalau lagi lapar, biasanya semua makanan terasa enak. Tapi kali ini yang terasa enak kok cuma krupuknya ya? Nasinya terlalu lembek. Padahal harganya Rp 17.000, jauh lebih mahal dari semangkok Soto Kudus Blok M yang nikmat itu…
Kalau CT scan-nya sendiri, harganya jauh lebih murah dari RS Pluit, bedanya > Rp 700 ribu.

Sunday, August 23, 2009

Terlena

Itu judul lagi dangdut Ikke Nurjanah yang pernah ngetop entah tahun berapa.
Terlena adalah kondisi yang sangat bebahaya bagi penyintas kanker (cancer survivor). Seringkali kita menyangka bahwa kita sudah bersih setelah menjalani mastektomi, kemoterapi, radiasi atau terapi medis lainnya. Pemeriksaan melalui berbagai peralatan canggih menunjukkan tak ada sel-sel kanker dalam tubuh kita. Jadi, kita sudah sembuh, dong?
Tapi kanker ini adalah penyakit yang menyebalkan. Ia dapat kambuh sewaktu-waktu. Meskipun tidak terdeteksi, bukan berarti tak ada sel kanker dalam tubuh kita. Mungkin saja ada, tetapi dia ngumpet jauh di dalam sana sehingga tak terdeteksi bahkan oleh mesin yang canggih.
Karena itulah maka dalam dunia medis ada yang namanya NED alias No Existing Disease.
Kanker penyakit paling pengecut yang selalu bersembunyi. Ia tak berani menampakkan diri ketika dipanggil, tetapi begitu kita lengah, si kanker busuk dapat menyerang kita tanpa ampun.
Karena itulah kita harus waspada. Tak perlu hidup dalam ketakutan karena kalau kondisi itu justru menguntungkan si kanker. Lebih baik kita waspada dengan menjaga gaya hidup kita, berusaha untuk hidup sehat dan mengisi hidup ini dengan hal-hal yang menyenangkan dan positif.

Tak ada janji surga

Setiap kali menjalani suatu pemeriksaan medis, perasaan selalu tercampur aduk
Di satu sisi, timbul rasa khawatir kalau ternyata hasilnya buruk. Di sisi lain aku berharap agar tak ada peningkatan aktivitas sel-sel kanker atau penyebaran baru.
Rasa was-was ada karena kita tidak dapat merasakan pergerakan sel-sel kanker dalam tubuh dan tak ada gejala seperti bersin-bersin, gatal-gatal atau buang-buang gas. Badan terasa sakit jika penyakit itu sudah betul-betul parah. Tapi jangan sampai menunggu sampai parah baru ketahuan ... Karena itulah diperlukan pemeriksaan medis secara rutin sesuai dengan anjuran dokter.
Dengan membawa hasil bone scan, aku menemui bu dokter di NUH kemarin (Jumat, 21 Agustus 2009). Hasil bone scan menunjukkan bahwa tak ada penyebaran baru. Tetapi sebelum aku mendengarnya langsung dari bu dokter, rasanya kurang sreg. Ternyata bu dokter memang mengatakan bahwa hasil bone scan ini kurang lebih sama seperti yang sebelumnya.
Lega dong… Tapi, eh. Tunggu dulu.
“Untuk sementara ini pengobatan dilanjutkan seperti biasa,” katanya.
Aduh, berarti tiap bulan aku masih harus suntik dan infus.
“At some point you should have chemo,” ia menambahkan dengan kalem.
Hah? Kenapa dok?
“If there is some progress with your disease, you should have chemo,” katanya.
Lho, kan hasil pemeriksaan ini baik2 aja dok..
“Ya emang sih, tapi hasil ini sifatnya hanya sementara. Tetap ada kemungkinan bahwa suatu saat ini bisa meningkat,” katanya dengan raut muka serius.
Lalu ia menunjukkan hasil tes darah yang baru dating dari laboratorium.
“Tumor marker ini menunjukkan adanya peningkatan. Jadi bulan ini mesti CT scan dan X-ray,” katanya.
Pemeriksaan itu untuk melihat apakah ada penyebaran ke organ tubuh yang lain seperti paru-paru, hati, ginjal, usus, dll. Saat ini kanker yang tadinya hanya menyerang payudara sudah menggerogoti sebagian tulangku –itulah sebabnya aku secara rutin menjalani bone scan.
Bu dokter nenekankan bahwa kanker ini bisa menjalar ke bagian tubuh yang lain dan apabila itu terjadi, maka aku harus kemo.
Tak ada basa basi dalam kata-kata bu dokter yang masih muda belia ini. (Umurnya baru 30-an tahun lho). Tak ada janji surga. Ia mengatakan ini tanpa maksud menakut-nakuti, tapi agar aku waspada.
Aku sudah pernah CT scan 4x dan PET Scan 1x, juga MRI 2x. Untunglah selama ini hasilnya menunjukkan bahwa kanker belum menyebar ke organ tubuh yang lain. Seandainya ada penyebaran, bagaimana? Ya tetep untung… karena ketahuan. Lebih awal ketahuannya, lebih baik sebab itu berarti lebih dapat dilakukan penanganan dengan lebih cepat. Bukankah lebih cepat lebih baik? Eh, kok mirip semboyan capres dalam pilpres kemarin ya?
Aku malas sekali CT scan.
“Nggak enak dok, obatnya dimasukin lewat dubur,” aku mengeluh sambil mengingat betapa tidak nyamannya proses itu.
“Oh ya? Ya, ditahan aja, kan cuma sebentar. Ini demi kebaikan,” katanya.
Sebelum berpisah, dokter mengingatkan agar aku melakukan CT scan dan memberitahukan hasilnya melalui email.
Oh ya, bu dokter juga memintaku untuk melakukan cek fungsi ginjal setiap kali sebelum menjalani infus penguat tulang dan menyesuaikan metode infusnya dengan hasil lab.
Waktu pertama kali CT scan, aku melakukannya di Singapura. Selain menyuntikkan obat lewat urat nadi, mereka juga memberiku obat berupa cairan sebanyak 1 botol, yang harus diminum secara berkala dalam waktu 1 jam (kalau tidak salah).
Dalam CT scan berikutnya, untuk menghemat biaya, aku melakukannya di RS Dharmais. Prosesnya kurang lebih sama. Tapi ternyata hasilnya lain karena Dharmais menggunakan sistem 32 slices sedangkan sebelumnya 64 slices, yang memungkinkan hasil yang lebih terinci.
Seorang suster di NUH mengatakan bahwa ada pasien dari Indonesia yang melakukannya di RS Gading Pluit dengan metode seperti yang dilakukan di Singapura. Atas rekomendasi suster itulah, aku menjalani CT scan di RS Pluit.
Untuk CT scan berikutnya, aku ingin melakukannya di RS lain yang tidak memakai obat lewat dubur, tetapi yang alatnya minimal secanggih RS Pluit dan ongkosnya tidak lebih mahal. Di mana ya?

Thursday, August 20, 2009

Lebih sering ke toilet lebih baik

Hari ini seusai makan siang di warung dekat kantor aku mampir membeli kopi Kapal Api titipan teman di Singapura.
Besok aku memang akan ke sana untuk berobat ditemani kawanku, Retno. Pada awalnya, kita tidak berniat menginap. Begitu selesai urusan di NUH (National University Hospital), hari itu juga kita akan langsung kembali ke Jakarta. Tapi terjadi perubahan. Kakak Retno dan keponakannya yang tinggal di Inggris datang. Mereka akan berlibur ke Singapura selama beberapa hari dan Retno akan menemani mereka. Jadwalku juga akhirnya berubah karena teman lamaku, Lewa, mengundangku menginap di apartemennya.
Perubahan jadwal penerbangan dengan Air Asia masih dimungkinkan dalam waktu 2x 24 jam dengan cancellation fee plus selisih harga yang totalnya sebesar Rp 358 ribu.
Setelah membeli kopi, aku masih sempat mampir ke resepsionis di kantor yang menawarkan kain batik Cirebonan yang murah meriah. Rp 50.000 per potong. Mau?
Lalu aku duduk di meja. Santai karena kerjaan baru datang di sore dan malam hari. Waktu aku akan membalas email seorang teman, mendadak aku teringat sesuatu. Astaga. Ya ampun. Kan aku belum ambil hasil bone scan di RS Dharmais?
Uuuuntuuunggg ingat. Dasar pikun. Kalau lupa sampai besok kan gawat? Percuma dong bone scan mahal2.
Tergopoh-gopoh aku menuju Dharmais.
Kemarin2 ini kakiku sempat sakit yang membuatku terpincang-pincang kalau lagi kumat. Menurut dokter dekat rumah, aku kena nyeri sendi. Ya, memang mendingan kaki sakit gara2 nyeri sendi daripada sakit karena serangan sel-sel kanker yang ganas.
Tapi untuk memastikannya, aku melakukan pemeriksaan bone scan hari Rabu, 19 Agustus 2009. Aku datang jam 07:58. Obat disuntikkan sekitar jam 8:30 dan jam 10:00 bone scan dimulai. Tak sampai 20 menit selesai. Keseluruhan proses ini termasuk cepat karena dulu pernah sampai jam 12 lewat, terutama kalau banyak pasien.
Ada juga kemajuan lain. Pada awalnya, untuk bone scan tidak perlu fotokopi KTP, tapi belakangan kita diminta menyerahkan fotokopi KTP. Nggak jelas apa maksudnya. Kemarin si Mbak yang melayaniku hanya meminjam KTP-ku sebentar untuk difotokopi. Si Mbak ini ramah, demikian juga dengan suster yang menyuntikkan obat ke urat nadiku.
Oh ya, toilet di dekat ruang bone scan masih sama seperti beberapa bulan yll. dalam arti tak ada tissue dan sabun. Tempat sabun masih diisi dengan bunga plastik. Biaya juga masih sama, Rp 952 ribu.
Bone scan adalah pemeriksaan dengan menggunakan bahan nuklir untuk mendeteksi abnormalitas pada tulang. Pemeriksaan ini kebanyakan digunakan dalam diagnosa sejumlah kondisi terkait dengan tulang, termasuk kanker tulang atau kanker yang telah menyebar ke tulang, untuk menentukan sumber rasa sakit pada tulang (mis. sakit pada pinggang) dan tulang yang tidak normal, untuk mendiagnosa keretakan tulang yang mungkin tak dapat dilihat melalui pemeriksaan X-ray biasa, dan mendeteksi kerusakan pada tulang karena infeksi atau penyakit (sumber: wikipedia).
Dalam proses bone scan, setelah obat disuntikkan, petugas di Dharmasi akan menyuruh kita minum air sebanyak 2 liter tanpa ada penjelasan “mengapa”.
Aku juga pernah menjalani bone scan di RSPAD Gatot Subroto dan di sana aku disuruh buang air sebanyak-banyaknya.
Minum air banyak-banyak memang tujuannya agar kita juga banyak buang air. Ini diperlukan untuk menggelontor bahan radioaktif yang tersisa dalam tubuh akibat obat yang disuntikkan ke urat nadi kita dan menghilangkan akibat sampingan yang tak diinginkan.
Untuk bone scan kali ini hasilnya adalah sbb:
“Dibandingkan dengan pemeriksaan tgl. 16-04-09, saat ini aktivitas patologis pada Th 5, TH 10, L1,2, os ilium kiri, os publis kanan, femur kiri, costae 7-8 kanan dan humerus kanan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Tidak tampak aktivitas patologis pada tulang lainnya.”
Lalu ditambahkan kesimpulan sbb:
“Kesan: Lesi metastase pada vertebrae thorakal, lumbal, pelvis, costae kanan dan humerus kanan.”
Kenapa ya mesti menggunakan bahasa latin? Apa itu lesi? Nggak ada hubungannya dengan si doggie lassie. Humerus juga sama sekali tidak mengandung unsur humor.
Intinya, sel-sel kanker masih bercokol di beberapa bagian tulang, termasuk tulang belakang, tulang panggul, tulang pinggang, tulang iga dan tulang lengan.
Tapi tampaknya ada berita baik dalam arti tak ada penyebaran baru. Untuk kepastiannya, besok akan aku tanyakan ke bu dokter. Mudah2an memang begitu adanya.

Wednesday, August 5, 2009

Mobilku sayang

Pada suatu siang setelah menjalani infus Zometa bulanan di RS, aku bersama bu dokter menuju ke tempat praktiknya di Senen untuk suntik Zoladex dengan mengendarai mobilku.
“Tidak pakai supir?” tanya bu dokter.
“Tidak dok. Saya paling nggak suka pake supir,” jawabku. Kalo ada supir rasanya privacy terganggu dan juga mesti keluar ongkos. Padahal aku merasa nyaman berkendara sendiri.
“Berapa lama dari rumah ke kantor?” ia bertanya lagi.
“Kalo ga macet, ga sampai 45 menit, tapi kalo macet bisa 1 jam atau bahkan lebih.”
Mungkin bu dokter yang baik hati itu merasa khawatir aku kecapaian menyetir mobil di Jakarta yang terkenal sering macet itu. Atau prihatin dengan kondisi mobilku yang selang power steering-nya pernah jebol di halaman RS, yang AC-nya sering bermasalah dan yang sebelumnya pernah mengalami ini dan itu.
Mobil ini memang sudah tak muda lagi. Dibeli di awal krismon yang mengakibatkan jatuhnya Soeharto. Tapi mesinnya masih mulus dan enak dipakai.
Dua hari yang lalu (Senin, 3 Agustus 2009). Ketika hendak meninggalkan kantor, tiba-tiba Pak Satpam memberi aba-aba untuk berhenti. Ya ampun. Ternyata ban kempes.
Untung.... Ketahuan. Karena masih dalam lingkungan kantor, banyak tenaga yang membantu. Trims ya Pak, Mas....
Seandainya ban mobil kempes di jalan. Celaka betul. Soalnya ketika itu jam sudah menunjukkan sekitar pukul 21:25. Kalau siang sih masih mending... Tapi kalau malam ngeri juga.
Keesokan harinya, setelah senam pagi, aku mampir ke tukang tambal ban di pinggir jalan. Ada bekas tambalan yang copot. Dengan sigap, ia menambalnya lagi. Tapi setelah diperiksa dengan disiram air, ternyata di pinggiran antara ban dan pelek keluar gelembung-gelembung udara.
“Ini bocor halus, tapi saya tak punya alatnya,” kata si mas sambil mengusulkan agar aku membawanya ke tukang ban di BTC (Bintaro Trade Center).
Ya sudah. Untuk tambal ban, ongkosnya Rp 15.000.
Di dompetku ada selembar Rp 5.000-an dan Rp 50.000-an. Jadi aku serahkan Rp 50.000. Si mas berusaha menukarkan ke warung sebelah, tapi tak berhasil.
“Nanti aja bayarnya,” katanya sambil mengembalikan uangku.
Aku jadi nggak enak ati. Tapi apa daya, akhirnya aku serahkan Rp 5.000 ke si Mas yang menurut pengakuannya bernama Boy, dan berjanji untuk melunasi sisanya nanti siang setelah menambal ban di BTC.
Siangnya aku ke BTC. Ban diperiksa, diketuk-ketuk, digoyang-goyang dan dipukul-pukul dengan sepotong besi. Lalu selesai.
“Lho, ini sudah, Mas?” tanyaku.
“Ya, ini nggak bocor. Cuma ada kotoran.”
Aku bengong. Tapi ya udah, aku percaya dong sama ahlinya.
“Ban ini sebetulnya sudah nggak layak, harus ganti,” katanya. “Kalau mau, saya ada ban yang seperti ini Rp 550.000. Itu sudah murah.”
Iya sih, memang ban belakang sudah jelek, tapi untuk sementara masih bisa dipakai. Jadi aku hanya membayar Rp 10 ribu untuk pengecekan ban.
Lalu soal lain muncul. Begitu meninggalkan BTC, jarum spedometer tidak jalan. Tulisan “check engine” di dashboard menyala terus. AC tidak dingin.
Sebetulnya ini untuk ke dua kalinya jarum spedomater macet. Bulan lalu juga pernah begitu. Bengkel langgananku di dekat rumah mengatakan kalau itu bukan sesuau yang terlalu mengkhawatirkan. Tetapi ketika mobil akan dibawa ke bengkel, eh, kondisi berubah normal sendiri.
Hari ini aku ke bengkel AC di Kebayoran Lama, tak jauh dari kantor, atas referensi seorang teman.
Setelah semua diperiksa, ternyata banyak yang harus diganti. Total biaya Rp 1.8 juta dengan perinciannya sbb:
1 servis komponen ND+silinder+seal = Rp 300 ribu
1 botol anu (tulisan cakar ayam tak terbaca) ND = Rp 190 ribu
1 ekspansi kotak ND = Rp 220 ribu
1 cooling coil ND Baleno = Rp 815 ribu
1 cuci blower=pasang cooling coil+freon anu (tulisan tangan cakar ayam tak terbaca) = Rp 275 ribu.
“Ini sudah murah,” kata koh Apin, pemilik bengkel.
Dan aku ini masih "untung" lho. Soalnya kalau kompresor rusak berat dan harus diganti, harganya Rp 2.1 juta.
"Kalau AC baru harganya Rp 8 juta," katanya.
Ya sudahlah. Memang kenyamanan itu mahal harganya.
Besok harus ke bengkel lagi untuk memeriksa jarum spedometer dan angka kilometer yang nggak mau jalan.
Tak apalah repot dikit, daripada ada masalah. Lagipula lebih baik naik mobil sendiri daripada naik taksi atau kendaraan umum... (Sebetulnya pernah terpikir untuk naik kereta api ke kantor. Berangkatnya ga masalah, tapi pulangnya susah karena frekuensi perjalanannya di malam hari sangat terbatas).

Bantal empuk untuk pasien kanker

Apa barang kesayanganmu?
Jangan bilang uang ya. Kalo itu sih ya… semua orang juga suka…
Salah satu benda yang paling aku suka adalah bantalku. Bantal yang empuk itu selalu setia menemaniku setiap kali aku berlayar ke pulau kapuk. Entah sudah berapa tahun usianya. Yang jelas pasti lebih dari 10 atau bahkan 15 tahun.
Ternyata bantal yang enak mengandung banyak khasiat lho. Ada efek ketenangan dan kenyamanan yang dapat langsung dirasakan oleh pemakainya.
Karena itu ada suatu kelompok di Amrik yang khusus membuat bantal-bantal empuk berbentuk hati untuk diberikan kepada pasien kanker.
Kisahnya bermula dari seorang guru sekolah bernama Bente Martinsen yang merasa prihatin dengan keluhan temannya Vicki Quinn yang merasa sakit pada kelenjar getah bening di dekat lengannya setelah menjalani radio terapi pada bulan April tahun lalu.
Bente menjahit bantal berbentuk hati sebagai hadiah bagi Vicki. Bantal yang empuk itu diletakkan di antara lengan (ketiak) dan bagian samping badan. Rasa nyaman menjalar melalui bantal itu dan membuat Vicki lupa akan sakitnya.
Vicki, Bente dan seorang kawan lalu membentuk kelompok yang secara rutin membuat bantal empuk berhentuk hati untuk dibagi-bagikan kepada pasien kanker di RS Marin, Sonoma dan San Francisco. Uniknya, ada juga bantal yang dihiasi dengan puisi.
Tahun ini mereka telah membuat 200 bantal yang bahannya diperoleh dari sumbangan.
“Ini 100 persen kerja suka rela. Kita nggak jualan bantal,” kata Bente.
Bantal berhentuk hati yang dibuat dengan empati dari hati yang tulus itu sangat berarti bagi para penderita kanker.
Banyak pasien yang mengalami rasa sakit di bagian dada dan kelenjar getah bening dekat ketiak setelah menjalani radiasi, kata Jana Kelly, perawat spesialis di Marin Cancer Institute. Sentuhan yang tak disengaja bisa saja menimbulkan rasa sakit.
Bantal itu pas sekali diletakkan di ketiak dan memisahkan antara dada dengan lengan sehingga mencegah timbulnya rasa sakit.

Tuesday, August 4, 2009

Ngeri

Ngeri. Takut. Serem. Iih… Aduh… Campur aduk perasaanku. Tapi intinya aku takut kalau kenapa-kenapa.
Lho, emang kenapa?
Ceritanya, badanku rasanya kurang enak. Mula-mula di bagian kaki, terutama kaki kanan. Kadang sakit, meskipun aku masih bisa berjalan ke sana ke mari. Kalau sedang sakit, maka naik turun kendaraan harus pelan-pelan. Kalau ingin duduk “berpangku kaki”, untuk menumpukan kaki kanan ke kaki kiri maka aku harus mengangkat kaki kanan dengan tangan.
Lalu badan juga terasa sakit. Kalau ini pasti terpengaruh oleh leher dan kepala yang sakit gara-gara salah bantal dan salah AC. Pada minggu ke-3 di bulan Juli aku sempat ke Malang dan waktu kembali dengan Sriwijaya Air, ternyata AC di pesawat tak dapat dimatikan dengan sempurna.
Kalau aku tiduran dan ingin berbalik arah, entah ke kiri atau ke kanan, maka rasanya seluruh tubuh mulai dari leher sampai badan dan kaki rasanya sakit semua. Kadang-kadang sakitnya sampai menyentuh tulang.
Entah kenapa, tiba-tiba timbul pikiran buruk, jangan2 ini ada hubungannya dengan kanker? Soalnya sel-sel kanker kan masih bercokol di tulang belakang dekat leher, di rusuk, tulang panggul dan beberapa bagian lain?
Aku mengirim email ke bu dokter di NUH dengan menyebutkan keluhanku. Lalu bu dokter menyarankan agar aku melakukan bone scan dan CT scan, juga MRI jika pusing melulu. Katanya keluhanku itu menunjukkan adanya gejala2.
Gejala apa? Dia tak menyebutkan, tapi aku jadi merinding. Wah.. jangan sampai... terjadi hal-hal yang hil-hil.
Kalau bone scan, masih mending, aku tak keberatan. Tapi CT scan... aduh, jangan ah.... masih terbayang betapa tidak nyamannya pemeriksaan CT scan-ku yang terakhir. Kalau MRI, aku rasa itu tak perlu karena aku tak terlalu pusing.
Tidak...!!!!
Ada dorongan untuk memberontak. Aku harus sembuh! Gejala-gejala ini harus dihilangkan. Aku tak mau bertambah sakit. Lagipula selama ini aku kan sudah cukup rajin mengikuti saran medis. Setiap hari minum obat, setiap bulan suntik dan infus. Setiap hari aku mengusahakan untuk minum jus, makan buah dan sayur, serta mengurangi jajan. Lima kali seminggu (kecuali kalau berhalangan) aku ikut senam pagi di lapangan parkir Carrefour di dekat rumah. Rasanya aku nggak rela kalo usaha kerasku sia-sia belaka.
Aku harus sembuh. Begitu tekadku. Hari itu aku sengaja tidak masuk kantor terutama karena dalam keadaan seperti itu aku tak tahan AC-nya yang luar biasa dingin. Aku memakai jaket dan syal hangat untuk membungkus leher. Oh ya, aku juga berkali-kali menggosok leher dan badan dengan balsem cap Macan alias Tiger yang sudah diproduksi di dalam negeri. Selain itu, tentu aku juga berdoa. (Jujur, kalau lagi senang kadang kita lupa Tuhan tapi giliran susah, pasti ingat)
Menurut si empok, aku harus dikerok. Tapi aku ga pernah suka dikerok. Sakit sekali rasanya. Jadi aku gosok aja kuat2 bagian leher yang samping sampai merah.
“Kalo empok sakit leher, masuk ke kolong ranjang. Trus lehernya yang sakit dikenain tempat tidurnya. Sembuh deh,” katanya.
Aku bengong. Nggak bisa ngebayangin si empok njedut-njedutin leher yang sakit ke tempat tidur. Aku juga ga kepingin nyoba, dan untungnya tempat tidurku nggak ada kolongnya.
Keesokan harinya, badanku terasa jauh lebih enak. Bener. Rasa sakit di leher tinggal sedikit sedangkan sekujur tubuh juga sudah membaik. Aku bisa berguling-guling di tempat tidur tanpa merasa sakit. Kaki masih sakit sedikit, tapi hanya sedikiiit...
Rasanya seperti ada keajaiban. Well, miracle happens.
Aku lalu menulis email ke bu dokter, mengatakan kalau sudah sembuh 90%, yang ditanggapinya dengan gembira.
Yang jelas aku tak harus bone scan, CT scan dan MRI. Senangnya....
Beberapa hari kemudian, kaki sakit lagi. Kali ini aku segera ke klinik 24 jam di dekat rumah. Menurut diagnosa bu dokter, aku terserang nyeri sendi. Ia memberiku vitamin dan obat anti nyeri yang sangat manjur.
Nyeri sendi memang tak enak. Tapi aku masih lebih memilih sakit karena nyeri sendi daripada karena serangan kanker.
Ternyata kekhawatiranku bahwa badanku sakit-sakit karena kanker tidak terbukti. Aku bisa membayangkan betapa banyak penyintas kanker yang merasa was-was setiap kali badan merasa kurang enak. Pasti mereka juga sempat mempunyai pikiran buruk, jangan-jangan kanker kambuh lagi...
Memang kanker bisa kambuh sewaktu-waktu. Kita juga perlu waspada dan tak boleh terlena. Tetapi kekhawatiran yang berlebihan justru tidak sehat dan akan membuat kita semakin terpuruk.
Lebih baik kita berserah dan kita pikirkan hal-hal yang menyenangkan, yang positif, yang indah-indah.... Life is beautiful.